Tuesday, August 17, 2010

Romantika S 604 (part 2) : Sebuah Perdebatan

Hari itu (lupa tanggalnya, yg pasti beberapa hari sebelum Ramadhan 1431 H), pulang jam 4.30 sore dari kantor. Untuk naik metro mini langganan, aku harus berjalan kaki dari kantor yang terletak di sebrang Patung Kuda menuju perempatan jalan di ujung gedung Bank Indonesia.

Naik bis dari situ, selalu dapat bangku kosong. Malah bisa memilih-milih mau di bangku yang mana. Kecuali hari Jum'at, tidak akan bisa memilih posisi tempat duduk. Masih ada bangku kosong, sudah untung.

Kali ini bangku kosong hanya ada di baris paling belakang yang muat untuk 5 orang. Aku menyelip di tengah, seperti jari tengah yang datang terlambat dalam barisannya.

Seperti kuduga, jalanan setelah bis memasuki Jalan Sudirman, macet.  Di hari biasanya, ada sekitar 10 orang penumpang yang turun di Stasiun Sudirman sehingga bis agak lengang. Tapi hari ini bis terus menerus menerima penumpang baru hingga memasuki kawasan Gatot Subroto. Sepertinya tak ada penumpang yang berniat turun sebelum bis tiba di ujung rutenya.

Beberapa meter sebelum perempatan Mampang-Kuningan, bis menjadi begiiiitu sesak. Orang-orang yang berdiri di depan wajahku menumpuk. Bis berhenti. Dari luar, berdiri di jalanan, kenek berteriak menyuruh mereka yang berdiri menutup pintu belakang untuk mencari celah ke tengah.

Ternyata ada seorang penumpang wanita yang hendak naik. Ampuuun, mau diselipkan di mana lagi? Seorang penumpang berteriak protes. Sehingga terjadilah debat antara sang kenek dan si Bapak. Kira-kira seperti ini:

Kenek : Kasih jalan. Masuk ke tengah.

Bapak : Geser kaki aja uda ga bisa. Ga muat lagi.

Akhirnya calon penumpang membatalkan niatnya.

Kenek jadi emosi.

Kenek : Geser dong dikit.

Bapak : Geser apaan? Lu aja sini,masuk. Bisa ga? (suara meninggi)

Dari celah yang tersisa, kulihat si kenek pun sangat kesulitan menerobos untuk menagih ongkos.

Kenek : Uda, lu turun aja. Ga usah bayar. (kata-kata ini ditujukan pada si Bapak).

Bapak  : Lho, gue kan uda naik. Hak gue naik. Nih, gue bayar.

Sayangnya, aku ga bisa melihat jelas apakah si Bapak jadi menyerahkan ongkosnya. Yang bisa kudengar, si Kenek berteriak menyuruh si Bapak segera turun.

Kenek : Turun aja lu.

Bapak : Gue turun di sini!

Dengan susah payah si Bapak turun. Terdengar si kenek mencak-mencak. Sepertinya terjadi adu mulut yang belum terpuaskan. Si Bapak berjalan kaki sambil membalas ocehan si Kenek. Bis  jalan merambat seperti siput.  Adu mulut terdengar bersahutan karena keduanya berjalan dengan kecepatan yang sama.

Seumur hidupku, baru kali ini ada kenek bertengkar kata dengan penumpang karena nekat menambah muatan, sementara seluruh penumpang yang lain hanya diam membisu, sepertiku. (Mungkin sudah terlalu lelah ditelan kemacetan).

Namun pertengkaran mulut antara penumpang dengan kenek bahkan dengan supir sering terjadi untuk hal lain. Hal apa itu? Tunggu tulisan berikutnya,ya.

 

 

 

 

 

 

4 comments:

  1. Selanjutnya bisnya mau muter, penumpang diturunin di tengah jalan padahal penumpang masih banyak, ditransfer ke bis yang udah penuh juga dan akhirnya ngga bisa duduk.

    ReplyDelete
  2. Lit, liat perampok g disela-sela penumpang yang padat :)

    ReplyDelete
  3. @Nilas....Wah, itu calon tulisanku berikutnya tuh..tahu aja..hehe..
    @Mba Ary...Gerombolan tukang copet,mba...sering liat tp bertahun lewat..Alhamdulillah, uda ga pernah ketemu lagi....

    ReplyDelete