Friday, October 25, 2019

Kemboja Kenangan


Pagi ini rasa senangku sempurna. Pohon yang kusiram setiap pagi sebelum berangkat bekerja, akhirnya berbunga lagi setelah  sekian lama hanya dihuni dedaunan hijau. Dua kuncupnya mulai mekar dengan semburat warna merah jambu.

Ibu menyebutnya Kemboja Jepang. Suamiku bilang,”Itu namanya Adenium”. Dua nama berbeda untuk sebatang pohon bonsai berbunga merah putih itu. Pohon itu tanaman istimewa buatku.Tanaman setinggi setengah meter itu diberikan ibu saat aku menghuni rumah kontrakan seminggu setelah aku menikah.

“Pohon ini buat penanda rumah kamu.” Ujar Ibu kala datang membawa dua buah pot tanaman, sebuah pot berisi bougenville dan pot yang lain bertengger si kemboja jepang. Saat itu aku tinggal di sebuah cluster berjumlah 40 unit rumah berlantai 2 yang sama bentuknya. Dalam satu deret terdapat delapan rumah berwarna sama. Walaupun sudah ada nomor rumah dengan kode huruf, seringkali keluarga yang datang agak bingung mencari rumah yang dimaksud. Jangankan orang lain, aku sendiri pernah hampir masuk rumah tetangga yang kukira rumahku. Pohon bougenville dan kemboja jepang itulah penanda supaya tidak lagi salah masuk rumah orang. Sayangnya, karena jarang kusiram, bougenville akhirnya mengering kemudian mati. Berdosanya aku.


Delapan tahun lebih berlalu, si kemboja jepang masih bertahan. Sejak pindah rumah tiga tahun lalu, baru dua kali ini dia berbunga lagi. Hal yang kusukai dari si kemboja, bunganya selalu bermunculan silih berganti dan mekar agak lama. Karena itu aku sempat sedih hati melihatnya lama tak berbunga. Dan begitu senangnya melihat si kemboja jepang “alias” adenium, bunga kenangan dari almarhumah Ibu mulai berkembang lagi. Bahagia itu sederhana dan indah.


Bambu Apus, 26102019, 05.00

Saturday, June 15, 2019

#1_ Panggilan Telepon Dari Ibu


#Tantanganmenulis100hari



Ibu. Setiap Sabtu menelponku. “Ibu masak makanan kesukaan kamu lho..sop iga kacang merah. Jam berapa kamu mau ke rumah?”

Aku. Memasukkan cucian ke mesin pengering, “Liat nanti ya, Bu. Aku jemur baju dulu ya. Nanti aku ke Pasming” Pasming itu singkatan dari Pasar Minggu, sebuah kecamatan di Jakarta Selatan, tempat tinggal orangtuaku dan delapan anaknya hingga satu persatu kami meninggalkan rumah setelah menikah.

Ibu terkadang menelponku saat hari kerja, pagi hari atau tengah hari saat jam istirahat. “Kamu lagi sarapan ya, Mba? Sarapan lontong sayur ya?” Tebakan yang tepat. Aku langsung mengiyakan. ”Hati-hati lho kolestrol. Kamu ga bole makan yang bersantan. Harus dikurangi”. Aku lalu menawar, “Kalo sarapan nasi uduk boleh ya?” Ibu tertawa,”Itu ada santannya juga”.

Awalnya, Ibu menelponku jam berapapun Ibu mau. Kemudian Ibu menyimpulkan sendiri,”Kalo telpon Mba Ita harus pas jam istirahat kantor, soalnya dia ga bisa diganggu kalo lagi kerja,”.
Ibu yang gesit perlahan melemah. Ibu tidak lagi punya kekuatan untuk  beraktivitas keluar rumah. Di Bulan Desember tahun lalu, Ibu dua kali opname di rumah sakit. Dokter bilang ada infeksi tapi sumbernya belum diketahui.

 Hari ini Hari Sabtu. Ibu tidak lagi menelponku. Ibu sudah di rumah abadinya. Tepatnya sejak hari Jum’at tanggal 4 Januari 2019. Jauh hari saat kesehatan Ibu nampak semakin menurun, entah mengapa aku merasa harus menyiapkan diri. Aku bersiap diri takkan lagi mendengar suara Ibu menelponku di Sabtu pagi. Saat Ibu harus lebih sering berbaring, aku bersiap diri tak lagi menikmati masakan Ibu yang enak-enak itu.
Walau tak lagi melihat sosok Ibu dan mendengar suaranya, aku merasa Ibu selalu ada. Ibu tak pernah pergi.

                                                                                                                        BambuApus, 15 Juni 2019

Note : Beberapa tahun lalu, aku pernah tulis puisi buat Ibu. Judulnya “Ibu, Yang Selalu Ada”. Puisi itu sempat kubacakan di depan Ibu. Sayangnya, puisi itu entah di mana kusimpan. Semoga catatannya bisa ketemu supaya bisa kuposting. Seperti isi puisi itu, Ibu sungguh selalu ada, bahkan saat aku sekarang hanya bisa melihat pusaranya.