Saturday, June 15, 2019

#1_ Panggilan Telepon Dari Ibu


#Tantanganmenulis100hari



Ibu. Setiap Sabtu menelponku. “Ibu masak makanan kesukaan kamu lho..sop iga kacang merah. Jam berapa kamu mau ke rumah?”

Aku. Memasukkan cucian ke mesin pengering, “Liat nanti ya, Bu. Aku jemur baju dulu ya. Nanti aku ke Pasming” Pasming itu singkatan dari Pasar Minggu, sebuah kecamatan di Jakarta Selatan, tempat tinggal orangtuaku dan delapan anaknya hingga satu persatu kami meninggalkan rumah setelah menikah.

Ibu terkadang menelponku saat hari kerja, pagi hari atau tengah hari saat jam istirahat. “Kamu lagi sarapan ya, Mba? Sarapan lontong sayur ya?” Tebakan yang tepat. Aku langsung mengiyakan. ”Hati-hati lho kolestrol. Kamu ga bole makan yang bersantan. Harus dikurangi”. Aku lalu menawar, “Kalo sarapan nasi uduk boleh ya?” Ibu tertawa,”Itu ada santannya juga”.

Awalnya, Ibu menelponku jam berapapun Ibu mau. Kemudian Ibu menyimpulkan sendiri,”Kalo telpon Mba Ita harus pas jam istirahat kantor, soalnya dia ga bisa diganggu kalo lagi kerja,”.
Ibu yang gesit perlahan melemah. Ibu tidak lagi punya kekuatan untuk  beraktivitas keluar rumah. Di Bulan Desember tahun lalu, Ibu dua kali opname di rumah sakit. Dokter bilang ada infeksi tapi sumbernya belum diketahui.

 Hari ini Hari Sabtu. Ibu tidak lagi menelponku. Ibu sudah di rumah abadinya. Tepatnya sejak hari Jum’at tanggal 4 Januari 2019. Jauh hari saat kesehatan Ibu nampak semakin menurun, entah mengapa aku merasa harus menyiapkan diri. Aku bersiap diri takkan lagi mendengar suara Ibu menelponku di Sabtu pagi. Saat Ibu harus lebih sering berbaring, aku bersiap diri tak lagi menikmati masakan Ibu yang enak-enak itu.
Walau tak lagi melihat sosok Ibu dan mendengar suaranya, aku merasa Ibu selalu ada. Ibu tak pernah pergi.

                                                                                                                        BambuApus, 15 Juni 2019

Note : Beberapa tahun lalu, aku pernah tulis puisi buat Ibu. Judulnya “Ibu, Yang Selalu Ada”. Puisi itu sempat kubacakan di depan Ibu. Sayangnya, puisi itu entah di mana kusimpan. Semoga catatannya bisa ketemu supaya bisa kuposting. Seperti isi puisi itu, Ibu sungguh selalu ada, bahkan saat aku sekarang hanya bisa melihat pusaranya.