Tak pernah terlintas di kepalaku untuk bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil walaupun ayahku seorang PNS di Departemen Agama (sekarang Kementerian Agama). Melihat jadwal kerjanya yang rutin, pergi pagi pulang sore, aku sama sekali tak tertarik menekuni hal yang sama. Kalimat yang terpikir selalu: “Apakah tidak bosan ya di kantor seharian?”
Saat lulus kuliah dari Fakultas Ilmu Komunikasi Unpad, pekerjaan yang kuinginkan adalah menjadi seorang penulis lepas. Menulis dan mengirim naskah ke media cetak menjadi kegiatan rutinku setelah lulus kuliah. Dari sekian banyak cerpen dan puisi yang pernah kukirimkan, hanya ada 2 cerpen dan 2 puisi yang dimuat di 3 majalah remaja. Ternyata tak gampang menembus jagad penulisan. Tapi aku tak terpikir untuk berhenti hingga suatu ketika...
Ibu mengajakku bicara. Beliau memintaku bekerja kantoran. Wah, ini sesuatu permintaan yang serius kupertimbangkan. Alasanku hanya satu, Ibu terlalu banyak memberi untuk anak-anaknya. Sementara aku merasa tidak bisa membalas semua pengorbanan Ibu. Aku kembali mengirimkan lamaran, kali ini sangat selektif mengingat pengalaman menulisku yang minim. Seluruh lamaran kerja yang kukirim terkait dengan penerbitan dan script writer.
Sambil menunggu respon lamaran, aku menjalani hari demi hari dengan tenang. Sore hari kursus Bahasa Inggris, pagi hingga siang hari membantu mengajar di sebuah Taman Kanak-Kanak. Suatu hari, sepulang aku mengajar, salah seorang adikku memberi informasi. Ada sebuah lowongan kerja yang diumumkan di sebuah media nasional. Apa itu? Penerimaan CPNS di Departemen Perhubungan (sekarang Kementerian Perhubungan). Wuih, PNS? Aku tak tertarik sedikitpun. “Kenapa gak lu aja yang ngirim lamaran?” Elakku. Jawabannya membuatku berubah pikiran,”Tidak ada lowongan untuk lulusan Teknik Industri di Departemen Perhubungan. Kalo ada, aku pasti kirim lamaran,”....Nyes...Hmm (tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata).
Adikku ini langsung menghubungi temannya yang berlangganan koran tersebut untuk mencari informasi mengenai persyaratan lamaran. Mempertimbangkan dukungannya, aku kemudian membuat surat lamaran, dan mengurus berbagai persyaratan lainnya. Di hari terakhir sesuai stempel pos, aku menuju kantor pos. Aku masih mengingat hari itu. Begitu kelas bubar, tergopoh-gopoh aku meluncur menuju 3 lokasi. Ambil pasfoto dan ijasah kursus Bahasa Inggris lalu ke Kantor Pos. Di Kantor Pos berdesakan dengan banyak orang lain yang juga mengirim lamaran kerja. Seorang wanita sempat menanyakan tujuan suratku dan meminta persyaratan lamaran. Rupanya dia sudah menyiapkan beberapa berkas lamaran. Ia membuat surat lamaran di tempat, mencantumkan tujuan surat, dan mengirimkannya. Ckck...usahanya patut diacungi jempol.
Beberapa minggu kemudian, aku mendapat panggilan menjalani tes CPNS di Departemen Perhubungan. Di hari H, jam 6 pagi aku sudah berada di lokasi ujian. Saat berada di bangku ujian, kulihat betapa banyaknya pelamar dari jurusan Komunikasi. Aku berkenalan dengan seorang peserta di sebelahku. Kami menghitung jumlah “saingan” di sekitar kami. Wah, ada sekitar 200 orang.
“Hanya diambil 2 atau 3 orang,”Keluh teman baruku (aku lupa namanya..).
“Ha?Masa?” Bisikku.
“Iya, di koran kan tertulis begitu,”Tegasnya. Walah...aku kan ga baca iklan langsung dari koran. So, aku tak terpikir akan lolos. Biarlah ini menjadi koleksi pengalamanku melamar pekerjaan.
Namun perjalanan hidup tak bisa ditebak. Aku menjadi satu dari sepuluh orang alumni Komunikasi yang lulus tes pertama tersebut.. Tes berikutnya adalah tes wawancara, TPA, dan tes Kesehatan. Alhamdulillah, aku lulus lagi. Kali ini hanya menyisakan 2 orang. Aku sangat bersyukur karena tak menduga dapat lulus ujian demi ujian. Tak punya ‘channel’, tak mengeluarkan uang sepeser pun di luar biaya tes kesehatan. (Hmm, rugi juga ya peserta lain yang sudah mengeluarkan biaya tes kesehatan).
Akhirnya....di sinilah aku, di Bagian Umum dan Organisasi-Ditjen SDPPI Kemkominfo, selama kurang lebih 9 tahun. Adakalanya merasa jenuh dan lelah. Saat seperti itu, aku mengingat kembali ‘alasan’ mengapa aku bisa berada di sini. Perjalanan itulah yang membuatku bertahan bekerja kantoran. Banyak-banyaklah bersyukur karena Allah sudah memberi kenikmatan tak terkira melalui pekerjaan ini. Aku menganggap pekerjaaan ini sebagai ibadahku. Semoga Allah selalu melindungiku....
Jakarta, 14 Agustus 2013
Tulisan ini dibuat terinspirasi oleh tulisan Kang Benny Rhamdani “Kerja Kantoran? Oh, No!”